Pewaris Peradaban, Penggerak Ekonomi

Afandiaba By Afandiaba
6 Min Read

Pewaris Peradaban – Bagaimana kuat dan gagahnya nenek moyang yang disebut sebagai seorang pelaut, mengembara dilautan melewati gelombang, menyeberangi samudera, kekuatan dan kepandaian dari nenek moyang itu masih bisa dirasakan turun temurun ke cucu dan cicit mereka, tidak terkecuali di Nagari ini.

Nagari yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia sehingga kaya akan sumber daya laut dan menjadikannya sebagai daerah penghasil ikan laut terbesar dan pewaris peradaban di Provinsi Sumatera Barat. Hasil ikannya tidak hanya dibawa keluar kota namun juga diekspor ke luar negeri. Semua itu tidak hanya karena nagari ini berada didaerah pesisir, namun juga dipengaruhi oleh ilmu kelautan, kepandaian, keahlian hingga kekuatan dan jiwa seorang pelaut yang diturunkan dari nenek moyang mereka.

Nagari yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai Nelayan ini memiliki puluhan kapal pencari ikan yang mereka namai dengan “bagan”. Selain itu terdapat pula kapal atau boat kecil yang juga digunakan untuk mencari ikan dengan mengunakan alat dan jaring ikan yang beragam. Maka tidak mengherankan yang menjadi nelayan di Nagari ini tidak hanya penduduk nagari ini saja namun juga banyak yang datang dari luar nagari untuk mencari penghidupan sebagai nelayan di Nagari ini.

Namun dibalik kajayaan dan melimpahnya sumber daya laut yang dimiliki saat ini, Nelayan tetaplah dipandang sebelah mata, selalu diremehkan dan rendah dalam status sosial di Negara Kepulauan ini, dan lagi tidak terkecuali di Nagari ini.

Artikel Lainnya :
Pelabuhan Air Bangis Di Zaman Kolonial
Upaya Bangsa Eropa Menduduki Pantai Barat

Nelayan begitulah mereka disebut, sedangkan di tempat mereka, orang-orang disana lebih suka menyebutnya sebagai pelaut, melaut atau kelaut. Jarang sekali kata Nelayan terdengar disana kecuali Stiker seharga duoibu piah yang ditempel disamping pintu masuk rumah mereka yang bertuliskan “Nelayan Miskin” sebagai cap dari pemerintah yang katanya akan menerima bantuan dari pemerintah. Memang pemerintah lebih suka menyebut kebijakannya itu dengan kata bantuan, seolah-olah pemerintah membantu para nelayan, padahal itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Sudahlah tidak perlu diteruskan, kita lanjut saja. Didalam kartu identitas yang dinamai KTP itu, yang Proyeknya dikorupsi, jarang sekali ditemukan pekerjaan mereka sebagai Nelayan, pada kolom pekerjaan, kebanyakan dari mereka mengisinya sebagai Wiraswasta.

Dalam pandangan umum, Nelayan selalu dikaitkan dengan kemiskinan, status sosialnya sangat rendah ditengah masyarakat. Hal itu pula yang menyebabkan mereka yang masih lajang mempunyai tuntutan sosial yag berat jika ingin melamar kekasihnya. Menjadi Nelayan adalah petaka bagi sebagian orang dan menjadi Nelayan adalah orang yang bernasib buruk. Mereka disebut tidak punya pekerjaan, kalaupun itu disebut pekerjaan itu hanya pekerjaan pilihan terakhir tak ada daya lagi, maka terpaksa kelaut atau melaut. Biasanya tuduhan yang kejam seperti itu ditujukan kepada mereka yang masih muda, yang tidak sanggup atau lebih tepatnya tidak mau melanjutkan pendidikan formal yang terkenal mahal itu.

Jika dilihat, dicermati, dirasakan dan diraba juga boleh, pandangan umum dan penilaian yang menggelikan itu sangat kontras terhadap apa yang telah dilakukan oleh mereka para pelaut atau Nelayan itu, terutama di Nagari yang molek ini. Dari sudut pandang lain kita bisa melihat Laut adalah sumber utama penghasilan masyarakat. Hasil laut sangat mempengaruhi perekonomian Nagari. Mereka inilah sebenarnya penggerak utama perekonomian Nagari itu, mereka adalah subjek bukan objek. Perihal keamanan dan pelestarian sumberdaya laut, sebelum Menteri Susi yang nyentrik itu mengebom kapal-kapal asing yang masuk secara ilegal di perairan Indonesia baru-baru ini, mereka sudah sejak dari dulu melakukan pengeboman dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang menggunakan pukat harimau yang masuk ke wilayah perairan mereka. Mungkin waktu Menteri Susi baru memulai Bisnis Hasil Lautnya, mereka sudah mengusir dengan mengebom dan menenggelamkan kapal asing yang masuk secara ilegal di daerah mereka.

Mereka adalah tonggak estafet dari peradaban nenek moyang mereka. Mereka tangguh dalam menghadapi hidup, hanya saja tetesan keringat mereka membuat mereka tidak ada waktu untuk mencari kehormatan dengan pangkat dan jabatan.

Menjadi Nelayan bukanlah pilihan yang sesat dalam menjalani kehidupan. Jiwa seorang pelaut itu telah mengalir didalam darah mereka. Nenek moyang mereka sejak dari dulu telah diketahui sebagai pengembara di lautan. Mereka berlayar ke samudera lepas menggunakan perahu bercadik dengan kemudi ganda dikedua sisi bagian belakangnya dan tentu saja masih menggunakan layar untuk memanfaatkan angin, kalau tidak begitu, mana mungkin mereka dulu disebut berlayar. Mereka berlayar ketimur hingga Samudera Pasifik dan kearah barat hingga mencapai Madagaskar.

Ilmu tentang laut, kepandaian dan keahlian merakit kapal, membaca arah angin, posisi bintang dan bulan hingga kekuatan dan jiwa seorang pelaut yang diturunkan dari nenek moyang mereka dahulu menjadi bahan bakar bagi kehidupan mereka. Mereka merasa terpanggil oleh laut. Karena mereka tidak pernah menaklukkan laut yang terkenal dengan ganasnya itu. Mereka bersahabat dengan laut. Mereka sudah tahu apa yang dikatakan oleh Pram. “ Segalanya bersumber dari laut, tak ada yang lebih berkuasa dari laut. Nenek Moyang kami juga bakal tidak ada kalau laut tidak ada.” Dan “seganas-ganasnya laut, dia lebih pemurah dari hati seorang priyayi.”

Share this:

Share This Article
Leave a Comment