Pantai Barat Sumatera termasuk salah satu daerah di Indonesia yang paling awal berinteraksi dengan bangsa Eropa. Daerah itu sekaligus menjadi daerah yang sejak awal pula menjadi sasaran ekspansi politik dan eksploitasi ekonomi bangsa kulit putih. Hadir dan berkuasanya kaum kolonialis di Pantai Barat Sumatera menyebabkan terjadinya beberapa perubahan yang signifikan dalam aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya di kawasan itu.
Perubahan-perubahan tersebut sangat terlihat pada berbagai tatanan sosial, tradisi politik, sistem dan perilaku ekonomi, serta bentuk budaya penduduk kawasan ini. Pada satu sisi perubahan-perubahan itu merupakan bagian dari praktik kolonialisme dan imperialisme yang dirancang serta dijalankan oleh kaum kolonialis, namun di sisi lain, berbagai perubahan tersebut merupakan respon yang diberikan kaum bumiputera terhadap tantangan-tantangan yang diberikan bangsa penjajah terhadap mereka.
Orang Eropa pertama yang datang ke Pantai Barat Sumatera adalah bangsa Portugis. Bangsa tersebut mendatangi kawasan itu pertama kali tahun 1519, tidak lama setelah mereka menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Kunjungan berikutnya dilakukan tahun 1521, 1543 dan 1561. Armada-armada Portugis ini sempat menyinggahi Barus, Tiku, Pariaman, serta sejumlah kota bandar di bagian selatan Pantai Barat Sumatera.
Dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia, baik di utara Pulau Jawa atau kawasan Maluku, Portugis terlihat tidak begitu bersemangat mengirim armada mereka ke kawasan Pantai Barat Sumatera. Setidaknya ada dua alasan utama yang menyebabkan tidak begitu intensifnya perhatian Portugis terhadap daerah itu: pertama, mereka tidak diterima dan tidak diperlakukan dengan baik oleh penduduk atau saudagar setempat.
Dalam tiga kali kunjungan pertamanya, mereka nyaris gagal mendapatkan barang dagangan dan bahkan mereka ditipu oleh penduduk atau saudagar setempat. Pada kunjungan keempat barulah ada sedikit transaksi, mereka berhasil mendapat sedikit emas dan lada, kendati dibayar mahal dengan ditawannya sekitar 50 orang anak buah kapalnya oleh warga Ipuh.
Kedua, Pantai Barat Sumatera bukan termasuk daerah yang menjadi sasaran utama kedatangan mereka ke timur, namun tetap dilakukan karena dasar agama. Seperti diketahui, salah satu latar belakang kedatangan Portugis ke timur adalah memerangi segala yang berbau moor (Islam). Penaklukkan Malaka adalah salah satu contoh yang paling tepat dari perwujudan misi tersebut.
Orang Eropa kedua yang mendatangi Pantai Barat Sumatera adalah Bangsa Prancis. Mereka datang pertama kali tahun 1527, namun tidak banyak keterangan mengenai kedatangan kapal yang berangkat dari Diepe, sebuah kota pantai dan bandar niaga serta pangkalan laut Prancis yang terletak di Selat Inggris itu.
Informasi yang kemudian sampai di negeri asal nya adalah kapal ini terdampar di pantai Barat Sumatera dan awak kapalnya dibunuh penduduk setempat. Dua tahun setelah itu datang lagi dua kapal Prancis ke kawasan ini.
Kedua armada yang dipimpin oleh Parmentier bersaudara (Jean dan Rau Parmentier) ini berlabuh di Tiku dan kemudian mengunjungi Indrapura. Tidak banyak juga informasi yang diperoleh mengenai hasil kunjungan kedua armada ini, namun yang jelas awak kapal ini menderita sakit sesampainya mereka di kawasan ini, dan sebagian di antaranya meninggal dunia, termasuk kedua Parmentier bersaudara. Ada juga pendapat yang mengatakan mereka sakit dan meninggal karena diracun.
Kunjungan Prancis berikutnya terjadi pada tahun 1539. Sama dengan kunjungan sebelumnya, juga tidak banyak keterangan mengenai hasil kunjungan ketiga ini. Kunjungan ketiga ini merupakan kunjungan terakhir armada Prancis ke Pantai Barat Sumatera pada abad ke-16.
Kapal Prancis baru muncul lagi di kawasan ini pada tahun 1601 dan singgah di beberapa pelabuhan di Pantai Barat Sumatera. Walaupun tidak sukses mendapatkan lada dalam jumlah yang banyak, kunjungan ini dianggap sebagai sebuah keberhasilan oleh Prancis.
Ada hubungan atau tidak, yang jelas kisah sukses kunjungan tahun 1601 ini diiringi dengan pendirian Compagnie française des Indes Orientales (Perusahaan Dagang Prancis di Timur). Pendirian kongsi dagang tersebut semakin meningkatkan frekuensi kedatangan kapal Prancis ke kawasan ini.
Tahun 1617 tercatat sebagai tahun istimewa bagi Prancis umumnya dan compagnie khususnya, karena tahun itu dua kapal perusahaan ini berhasil mendapatkan lada dalam jumlah yang banyak di Pantai Barat Sumatera. Namun, setelah kisah sukses tahun 1617 ini, untuk beberapa waktu kemudian Prancis absen lagi di Pantai Barat Sumatera, hingga akhirnya mereka muncul kembali, namun dikatakan bukan dengan tujuan berdagang, tetapi ingin mendesak serta mengambilalih kekuasaan Inggris, musuh mereka dalam perang yang terjadi di Eropa sana.
Dalam kaitan dengan misi itulah sejarah Pantai Barat Sumatera mencatat tiga nama pelaut Prancis yang pernah mencoba mengobarkan perang di kawasan ini, yaitu Laksamana Montmorency dan d’Estaing, serta bajak laut terkenal Le Même.
Orang Eropa ketiga yang mendatangi Pantai Barat Sumatera adalah bangsa Inggris. Sebagaimana dikemukakan oleh Denys Lombard, armada Inggris telah hadir di kawasan ini pada perempat terakhir abad ke-16, dan Aceh adalah salah satu daerah pertama yang mereka datangi.
Tidak tanggung-tanggung, kehadiran Inggris di kawasan ini diikuti oleh surat Ratu Inggris, Elizabeth I yang ditulis pada kertas yang halus dengan tintas emas dan dibawa oleh “utusan kerajaan” yang bernama Sir James Lancaster.
Dalam surat tersebut, Ratu Elizabeth memposisikan Raja Aceh sebagai “saudara” dengan menulis di alamat surat “Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam”. Kedatangan armada dagang dan sekaligus utusan Ratu Inggris itu juga diiringi dengan sejumlah “tanda mata” berupa seperangkat perhiasan yang terdiri dari sepasang gelang dari batu rubi.
Pendekatan “diplomasi lunak” dari bangsa Inggris ini menyebabkan mereka diizinkan berdagang di Kutaraja oleh penguasa Aceh. Kesempatan berdagang itu harus dipahami hanya dalam batas tertentu. Puncak kehadiran Inggris di kawasan ini terjadi tahun 1685 saat mana mereka menduduki Bengkulu dan mendirikan benteng mereka di sana.
Orang Eropa keempat yang mendatangi Pantai Sumatera adalah bangsa Belanda. Merekamendatangi kawasan ini (Pantai Barat Sumatera bagian selatan) pertama pada 1595. Armada yang dipimpin Cornellis de Houtman ini nyaris tidak bisa berjual beli di sana, karena itu mereka melanjutkan pelayarannya menuju Banten dan tiba pada tahun 1596.
Kunjungan kedua dari pelaut atau saudagar dari Negeri Kincir Angin tersebut dilakukan pada tahun 1599. Mereka juga sampai pertama kali di bagian selatan Pantai Barat Sumatera, namun tidak singgah atau berjual beli di sana atau kota-kota pantai lainnya di pesisir barat, mereka langsung berlayar menuju Kutaraja (Aceh).
Kunjungan ketiga pelaut dan saudagar Belanda ke kawasan ini dilakukan tahun 1600. Kunjungan tahun 1600 itu juga dikatakan sebagai kunjungan pertama orang Belanda secara langsung ke Pantai Barat Sumatera. Pada kunjungan tersebut armada Belanda yang dipimpin oleh Paulus van Kaerden ini sempat menyinggahi Pariaman, Tiku dan Airbangis. Namun mereka gagal melakukan transaksi niaga.
Kunjungan kedua yang khusus mendatangi dan ingin bertransaksi di Pantai Barat Sumatera dilakukan tahun 1601. Pada tahun itu, armada yang dinamai Zwarte en Witte Arend juga singgah di kota bandar Tiku, namun kembali gagal berjual beli dengan penduduk dan saudagar setempat. Bahkan di Tiku mereka diserang yang menyebabkan lima awak kapal tewas serta 12 anak buah kapal ditawan.
Kunjungan ketiga armada Belanda khusus ke Pantai Barat Sumatera dilakukan tahun 1602, dan pada kunjungan tersebut mereka mulai berhasil melakukan transaksi dagang dengan penduduk dan saudagar setempat. Oleh karena itu, kunjungan armada yang dipimpin oleh Jacob van Heemskerk ini dianggap sebagai titik awal kisah sukses kedatangan orang Belanda ke Pantai Barat Sumatera.
Kisah sukses Belanda di Pantai Barat Sumatera ini sesungguhnya bersamaan waktunya dengan didirikannya Vereenigde Oost-Indische Compagnie(VOC). VOC adalah sebuah perusahaan dagang yang didirikan dalam rangka menghindari persaingan yang tidak sehat di antara sesama saudagar Belanda yang sejak tahun 1595 berlomba-lomba mengirim kapal mereka ke Nusantara.
Sejak pengiriman armada yang pertama (yang terdiri dari empat kapal di bawah pimpinan Cornellis de Houtman) hingga tahun 1602 (saat didirikannya VOC), Belanda telah mengirim 15 armada dengan jumlah kapal sebanyak 65 buah ke Nusantara.
Perlombaan mengirim kapal tersebut dianggap tidak sehat oleh pemerintah atau Kerajaan Belanda karena masing-masing armada berusaha dengan segala cara untuk mendapatkan barang niaga sebanyak-banyaknya dan dengan cara apapun juga, termasuk membuat perjanjian yang diiming-imingi dengan berbagai konsesi terhadap penguasa atau saudagar setempat.
Persaingan tersebut akan merugikan mereka sendiri (sesama orang Belanda), dan merugikan Belanda sebagai sebuah negara (karena secara umum bangsa Belanda di Timur Jauh juga bersaing dengan sejumlah negara lain, seperti Portugis, Inggris dan Spanyol yang juga ingin menanamkan pengaruh ekonomi dan politiknya). Bangsa-bangsa Eropa ini saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh dan keuntungan dalam berniaga.
Dalam mewujudkan keinginan mereka tersebut, di antara sesama mereka sering terjadi konflik, bahkan demi mewujudkan keinginan mereka, terkadang terjadi konflik yang bermuara pada pertempuran terbuka antara sesama mereka.
Oleh karena itulah muncul gagasan Olden Barneveld, yang kemudian disetujui Pemerintah Belanda untuk membentuk hanya satu perusahaan dagang saja, dan orang atau pengusaha Belanda diizinkan menanamkan sahamnya di perusahaan tersebut.
Perusahaan yang akan didirikan itu diberi hak-hak istimewa, di antaranya hak memonopoli perdagangan, memiliki tentara, melakukan ekspansi ke Asia, Afrika, dan Australia, menyatakan perang, membuat perdamaian, dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat, serta hak untuk mencetak mata uang.
Melalui berbagai hak istimewa yang dimilikinya, serta diiringi pula oleh sikap konsisten para pemimpinannya menjalankan prinsip-prinsip dasar tujuan perusahaan (sebagaimana yang dituangkan dalam octrooi pendiriannya), dan ditambah dengan berbagai kecurangan yang dilakukan para pengurus perusahaan ini, maka VOC mendulang sukses, termasuk di Pantai Barat Sumatera.
Walaupun VOC telah berdiri tahun 1602, tetapi pengaruh politik dan ekonomi kongsi dagang tersebut di Pantai Barat Sumatera belum kuat hingga tahun 1660. Selama lebih kurang 60 tahun, perusahaan dagang tersebut masih berkutat pada upaya menanamkan pengaruhnya, dan upaya itu dirasakan cukup berat serta menguras tenaga dan biaya. Beratnya upaya itu disebabkan oleh karena kuatnya pengaruh Aceh di Pantai Barat Sumatera.
Sumber :
Eko Yulianto, Gusti Asnan dkk. Mengawal Semangat Kewirausahaan; Peran Saudagar dalam Memajukan Roda Ekonomi Sumatera Barat, Jakarta, Bank Indonesia Institute. 2018 Sub Judul : “VOC di Pantai Barat Sumatera dan Perkembangan Kota Padang Hingga Awal Abad ke 19”.
Referensi :
“Franchen in den Maleischen Archipel” dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (Deel I). ‘s-Gravenhage, Leiden: Martinus Nijjhoff, E.J. Brill, 1917, hal. 723-5.
Bastin, J. 1965. The British in West Sumatra 1685-1825. Kuala Lumpur University of Malaya Press.Baswir, Revrisond dkk. 2003.
Kalff, S., “Franschen in den O.I. Archipel” dalam Koloniaal Tijdschrift, 16, 1927, hal. 241-261.
Kroeskamp, Hendrik. 1931. De Westkust en Minangkabau (1665-1668). Utrecht: Fa. Scho-tanus & Jens.
Kroeskamp, Hendrik. 1931. De Westkust en Minangkabau (1665-1668). Utrecht: Fa. Scho-tanus & Jens.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
MacLeod, N., “De Oost-Indische Compagnie op Sumatra in de 17de Eeuw” dalam Indische Gids 25, 1903; 26, 1904.
Pires, Tome. 1944. The Summa Oriental of Tome Pires. Nendel/Leichtenstein: Kraus Reprint Limited.
Reid, Anthony. 1979. The Blood of The People. Oxford: Oxford University Press.
Rusli Amran. 1981. Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Stuers, H.J.J.L. de, Jaarlijksch Verlag van het Sumatra’s Westkust 1819-1827.
Thomas, Luis Felippe F.R. “Sumatra’s Westcoast in Portuguese Sources of the Mid 16th Century”, dalam Bernhard Dahm (ed.) Regions and Regional Developments in the Malay-Indonesian World, 6th European Colloquium on Indonesian and Malay studies (ECIMS), Otto Harras-sowitz, Wiesbaden, 1992, hal. 23-32.