mengintip sejarah pelabuhan Air Bangis di zaman kolonial – Berada diantara dua benua yaitu Asia dan Australia serta di antara dua Samudra yaitu Hindia dan Pasifik. Sebagai kawasan yang berbasis kelautan, posisi Indonesia menjadi strategis, telah dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran internasional sejak berabad abad yang lalu. Salah satu jalur perdagangan tersebut adalah pantai dan selat-selat yang berada sekitar Pulau Sumatera, terutama di pantai barat Sumatera.
Selain Aceh, Air Bangis merupakan salah satu kota pantai di kawasan Pantai Barat Sumatera yang pertama kali dikunjungi oleh armada dagang Belanda atau VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) pada abad XVII
Ketika Pantai Barat Sumatera pertama kali dijadikan sebagai nama unit politik-adminsitrasi pada masa VOC, wilayah geografis ini disebut Sumatra’s Westkust (bahasa Belanda dari Pantai Barat Sumatera). Dalam pengertian geografis, Pantai Barat Sumatera mencakup seluruh kawasan yang terletak di pinggir pantai di bagian barat pulau tersebut, tepatnya semua kawasan pesisir yang berada dari Tanjung Aceh di titik yang paling utara (Aceh) hingga ke Tanjung Rata di titik yang paling selatan (Lampung).
Dalam pengertian politik-administratif, Pantai Barat Sumatera adalah penamaan terhadap sebuah unit administratif yang terdapat di bagian barat Pulau Sumatera, dan memiliki wilayah yang sebagian di antaranya merupakan kawasan Pantai Barat Pulau Sumatera. Unit administratif ini mulai ada sejak hadirnya pemerintahan modern di Sumatera khususnya dan Nusantara pada umumnya, yakni sejak era VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Sumatra’s Westkustunit pemerintahannya setingkat hoofdpcomptoir (pos dagang utama), dan dinamakan Hoofdcomptoir van Sumatra’s Westkust (Pos Dagang Utama Pantai Barat Sumatera). Wilayahnya mencakup kawasan pantai dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan, dengan pusat-pusat kegiatan politik-ekonominya di sekitar kota-kota bandar seperti Singkel dan Barus, Padang dan Indrapura.
Pada abad XVII – XVIII seluruh kawasan Pantai Barat Sumatera dikuasai oleh Inggris, dan awal abad XIX Inggris menyerahkan kawasan ini kepada Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sejak berakhirnya Perang Paderi (1838) hingga awal abad ke-20 (1906), Sumatra’s Westkust tetap dipakai menjadi nama unit administratif.Levelnya setingkat Gouvernement (setara dengan provinsi dewasa ini), dan dinamakan Gouvernement van Sumatra’s Westkust (Pemerintahan Pantai Barat Sumatera).
Gouvernement van Sumatra’s Westkust (Pemerintahan Pantai Barat Sumatera) Wilayahnyamencakup semua daerah pesisir dari Singkel di utara hingga Indrapura di selatan, ke arah pedalaman sampai ke bagian barat Danau Toba di utara, Dalu-dalu, Kampar dan Sijunjung di timur, serta Dharmasraya di selatan. Unit administratif ini juga menjadikan pulau-pulau di lepas pantai barat, seperti Pulau Nias, Kepulauan Banyak, Kepulauan Batu, dan Kepulauan Mentawai, sebagai bagian dari teritorialnya
Gouvernement van Sumatra’s Westkust memiliki tiga unit pemerintahan di bawahnya, yang dinamakan residentie (keresidenan), yaitu Residentie Padangsche Benedenlanden, Residentie Padangsche Bovenlanden, dan Residentie Tapanoeli.
Setelah Perang Padri usai, pemerintah kolonial Belanda masih terus menganggap Air Bangis sebagai daerah pentingnya, ini terbukti dengan ditetapkannya Air Bangis sebagai ibukota Residensi Tapanuli. Air Bangis dipilih salah satunya karena keramaian kota bandar ini dalam perdagangannya.
Di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, Air Bangis dijadikan sebagai salah satu pusat perekonomian terpenting di Pantai Barat Sumatera. Pelabuhan Air Bangis dinyatakan sebagai pelabuhan pelayaran internasional oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1839 beserta Pelabuhan Singkil, Barus dan pada tahun 1847 disusul oleh Pelabuhan Muara Kumpeh.
Pelabuhan Air Bangis telah ditata dan direncanakan dengan baik. Tahap pertama dimulai dengan pemindahan pusat perdagangan dan pelayaran dari Pulau Panjang ke daratan yang lebih luas di Air Bangis. Sebelum pelabuhan Air Bangis dikembangkan, untuk fungsi bongkar muat barang dermaganya berada di seberang pulau yang menempati Pulau Panjang yang disebut Reede.
Reede adalah nama lain dari pelabuhan yang dikenal dalam dunia pelayaran di zaman Hindia Belanda, merupakan tipe pelabuhan yang lebih sederhana karena memiliki fasilitas yang terbatas. Reede ini terletak sekitar 4 mil laut ke arah barat dari bibir pantai Air Bangis.
Pelabuhan Air Bangis kemudian dikembangkan oleh Belanda menjadi pelabuhan yang melayani kegiatan ekspor dan impor barang perdagangan dan pelayaran internasional. Pada masa inilah pelabuhan Air Bangis mencapai puncak kejayaannya.
Pembangunan Pelabuhan Air Bangis mulai gencar dilakukan Belanda pada tahun 1842. Pelabuhan ini kemudian diperbaiki lagi oleh pemerintahan yang sama dengan membangun dermaga kayu dan beberapa semi permanen. Gudang permanen dan semi permanen berfungsi sebagai tempat pengumpulan produksi komoditi di wilayah Distrik Pasaman, karena Air Bangis adalah ibukota Karisidenan Tapanuli ketika itu.
Selain berdiri benteng Belanda yang sudah ada sejak masa Paderi, di Air Bangis kemudian juga dibangun bangunan kolonial. Bangunan fisik yang pertama dibangun dalam perencanaan kota Air Bangis adalah Kantor Residen, fasilitas pelabuhan, sarana pemerintah, perumahan, pertokoan, kompleks tangsi, penjara, kantor pajak (pakhuis), dan sebaginya.
Hubungan Pelabuhan Air Bangis dengan daerah foreland atau daerah seberang laut terkait dengan aktivitas pelayaran dan perdagangan. Daerah seberang laut dari Pelabuhan Air Bangis yaitu pulau-pulau yang mengitari teluk Air Bangis seperti Pulau Panjang, Pulau Harimau, Pulau Talua, Pulau Pigago, Pulau Unggas, Pulau Tamiang, dan Pulau Pangka, dan pulau-pulau yang termasuk gugusan kepulauan Batu yang berada di Samudera Hindia. Selain itu kota-kota pantai baik di selatan maupun di utara memberi peranan penting bagi Pelabuhan Air Bangis seperti Padang, Tiku, Pariaman, Sasak, Natal, dan Barus.
Pulau Panjang memainkan peran sebagai tempat bersandar kapal-kapal besar yang memasuki teluk Air Bangis. Di pulau ini terdapat perkampungan, dermaga, pos militer, menara suar dan gudang penyimpanan barang. Barang-barang dari Pulau Panjang dibawa ke muara Sungai Sikabau dengan menggunakan kapal atau perahu kecil untuk dipasarkan di kota Air Bangis.
Pulau Panjang berjarak 3 mil laut dari muara Sungai Sikabau. Pulau Panjang menyediakan air bersih untuk persediaan kapal besar selama berlayar. Pulau Panjang juga penghasil kelapa, kopra, minyak kelapa, dan hewan ternak kerbau.
Posisi Pelabuhan Air Bangis yang berada di pertengahan jalur pelayaran dan perdagangan Pantai Barat Sumatera memberikan keuntungan tersendiri bagi pelabuhan ini. Kapal-kapal yang berlayar dari utara (pelabuhan Barus dan Natal) menuju selatan (pelabuhan Tiku, Pariaman dan Padang) tetap akan melewati perairan Air Bangis. Kapal-kapal ini tidak hanya lewat, tetapi juga singgah untuk beristirahat (bahkan ada yang menetap) di pelabuhan ini dan melaksanakan aktivitas perdagangan di pasar-pasar Air Bangis
Berkembang pesatnya Pelabuhan Air Bangis menjadikannya sebagai pelabuhan terpenting di kawasan utara Gouvernement van Sumatra’s Westkust pada seperempat pertama abad XIX, menyaingi Pelabuhan Natal dan Barus. Namun Kejayaannya tidak berlangsung lama.Peran Air Bangis sebagai ibukota residensi berakhir pada tahun 1848, ketika ibukota Residensi Tapanuli dipindahkan lebih ke utara, ke kota pelabuhan Sibolga, yang berlangsung sampai tahun 1884. Pada kurun 1884 sampai tahun 1905, pemerintah kolonial membentuk sebuah keresidenan baru dengan nama Keresidenan Air Bangis, dengan Padangsidempuan menjadi ibukota keresidenan ini.
Dikembangkannya Sibolga dan dibangunnya pelabuhan di sana sangat berdampak terhadap Pelabuhan Air Bangis. Secara bertahap Pelabuhan Air Bangis mulai sepi disinggahi kapal-kapal asing. Akibatnya aktivitas perdagangan dan pelayaran di kawasan pelabuhan mengalami kemunduran, dan hal ini diperparah lagi oleh banyaknya penduduk yang pindah ke Sibolga. Penyebab utama perpindahan penduduk diakibatkan berjangkitnya penyakit malaria.
Kemunduran aktivitas perdagangan dan pelayaran di Pelabuhan Air Bangis juga disebabkan perkembangan kawasan Pantai Timur Sumatera sebagai sentral ekonomi baru dan Pemerintah Belanda pada abad XX lebih banyak terkonsentrasi di daratan Pulau Sumatera.
Bangunan yang tersisa di pelabuhan Air Bangis sampai saat ini di antaranya merupakan bekas benteng yang mengitari wilayah pelabuhan. Bekas-bekas tersebut berupa tembok benteng dari susunan bata bercampur dengan batu setinggi kurang lebih 2,4 m, lebar 1,15 m, dan panjang 48 m, membatasi daerah daratan dengan pantai. Tembok tersebut hanya menyisakan bagian bagian tertentu -yang umumnya sebagian besar sudah hilang.
Bekas tembok benteng pelabuhan Air Bangis Sebagian besar di areal benteng tersebut sudah dipadati oleh pemukiman penduduk yang cukup padat sehingga semakin menambah tereliminasi bagian bagian tembok benteng. Apabila disambung dengan garis lurus maka benteng tersebut akan membentuk pola segi delapan. Dengan adanya bangunan benteng di wilayah tersebut menunjukan bahwa Pelabuhan Air Bangis merupakan wilayah yang memiliki kedudukan sangat penting dalam menunjang perekonomian kolonial pada saat itu.
Sumber Referensi :
E.B. Kielstra. “Onze Kennis van Sumatra`s Westkust Omstreeks de Helft der Achttiende Eeuw”, dalam B.K.I., No. XXXVI, 1887.
Eko Yulianto, Gusti Asnan dkk. Mengawal Semangat Kewirausahaan; Peran Saudagar dalam Memajukan Roda Ekonomi Sumatera Barat, Jakarta, Bank Indonesia Institute. 2018
Gusti Asnan, “Persaingan di Pantai Barat Sumatera”, dalam Taufik Abdullah dan A. B. Lapian, Indonesia dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, Jilid IV, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012
Gusti Asnan, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi,Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006,
Gusti Asnan, Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, Jogjakarta, 2007
H. L. Osthoff, Beschrijving van Het Voorwater Langs De Westkust van Sumatra Tusschen Padang en Tapanoly, Behoorende Bij De Kaart Opgenomen 1834-1838, Batavia: Landsdrukkerij, 1840
J. Kathirithamby-Wells. “Achenese Control over West Sumatra up to de Treaty of Painan of 1663”, Journal of Southeast Asia History 10, iii, 1969.
John Ball,Indonesian Legal History: British West Sumatra 1685-1825, Sydney: Oughtershaw Press, 1984
M. Nur, dkk., Dinamika Pelabuhan Air Bangis dalam Lintasan Sejarah Lokal Pasaman Barat, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2004
S. Muller dan L. Horner,Reizen en onderzoekingen in Sumatra, Gedaan Op Last der ederlandsche Indische Regering, Tusschen de Jaren 1833 en 1838
Singgih Tri Sulistiyono, Java Sea Network: Patterns In The Development Of Interregional Shipping And Trade In The Process Of National Economic Integration In Indonesia 1870s-1970s, Amsterdam: Vrij University Amsterdam, 2003,
Skripsi Junaidi, Penelitian Tentang Pelabuhan Air Bangis Sumatera Barat Pada Abad XIX Hingga Awal Abad XX. Universitas Sumatera Utara. Medan 2015
Tome Pires. Suma Oriental: Perjalanan Dari Laut Merah Ke China & Buku Francisco Rodrigus. Yogyakarta: Ombak. 2014
William Marsden, Sejarah Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013
Yusfa Hendra Bahar dan Fauzan Amril, Peninggalan Maritim Pantai Sumatera Barat 10, XV. 2009